Senin, 20 Juli 2020

FARMASIS DIUJUNG TANDUK, PEMERINTAH KEMANA ?



Saya paham betul, negara ini sedang berusaha bangkit dari keterpurukan. Hantaman COVID 19 bukan main, duka mendalam bagi angka kesakitan dan kematian yang masih terus naik, hingga detik ini. 

Belum lagi bicara permasalahan negara ini yang kompleks, aksi protes terus bergulir, dalam balutan RUU Cipta Lapangan Kerja, HIP, PKS, dan lainnya. Belum lagi soal Anti Korupsi yang semakin dihentak. 

Di masa genting ini, bagai seorang farmasis kini tengah diketuk. RUU Kefarmasian dikeluarkan dari Prolegnas 2020, tidak ada jaminan akan lahir UU Kefarmasian di tahun berikutnya. Padahal sworang farmasis butuh perlindungan hukum yang kokoh, yang menjamin keberlangsungan pekerjaan ataupun pelayanan kefarmasian. sebagaimana diatur dalam UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” serta prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle).

Tapi, RUU Kefarmasian ini bukan hanya soal seorang farmasis. Ini soal pasien, keselamatan dan peningkatan kualitas hidup pasien. Apalgi kita sbg rakyat indonesia khususnya saya berpegang teguh atas prinsip salus populi suprema lex esto (Keselamatan Rakyat).

Minggu, 14 Juni 2020

MENGEMBALIKAN TAJAMNYA PEDANG SANG PENDEKAR YANG DIKAMBING HITAM KAN KEKUASAAN, PADA TUNTUTAN KASUS NOVEL BASWEDAN



Tuntutan 1 tahun penjara oleh 2 pelaku penganiyayaan berat terhadap Novel Baswedan (NB), saya katakan sangat-sangat tidak adil dan sangat tidak berdasarkan perundang undangan,  disini juga dalam penafsiran logis pada kalimat "tidak sengaja" dalam persidangan ini, letak "tidak sengaja" oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) hanya pada yang katanya hendak menyiram badan tapi kena muka. Inilah yang keliru. Padahal "tidak sengaja" seharusnya ditimbang pada apakah pelaku tindak pidana menghendaki dan mengetahui (Willens en wetens) perbuatan tersebut. Dan jika memperhatikan kronologinya maka sangat jelas ini merupakan unsur kesengajaan.

Mengapa secara demikian bisa terjadi didalam dakwaan dan tuntuan oleh JPU dimana memberikan dakwaan yang berlapis terhadap 2 pelaku tersebeut. Pasal pertama (primer) pasal 355 ayat 1 KUHP, yang isinya yaitu tentang orang yg dari awal yg merencanakan untuk melakukan penganiyayaan berat kepada sesorang maka ancaman hukumannya maksimal 12 tahun penjara. Didalam pembuktian dimuka sidang saya sepakat bahwa diliat dari pasal 355 ayat 1 memang tidak terbukti karna dari awal kedua terdakwa tersebut tidak ada rencana melakukan penganiyayaan berat terhadap NB. Dan didalam dakwaan kedua subsider JPU disini mendakwa pasal 353 ayat 2 KUHP ancaman pidana 7 tahun penjara , apabila perencanaan pnganiyaan ini mengakibatkan sesorang mengalami luka berat atau cacat, maka ancamannya adalah 7 tahun penjara.

Mari Kita lihat lagi di pasal 353 ayat 1 KUHP bahwa apabila perencanaan penganiyayaan itu penganiyayaan ringan maka ancamannya pidana 4 tahun penjara, maka diliat ketentuan ayat 1 kita liat secara logis , apabila mengakibatkan  luka berat dan cacat maka ini penganiyayaan berat sebagaimana pasal 353 ayat 2 KUHP tidak boleh dibawah 4 tahun tetapi tidak pula diatas 7 tahun penjara, Maka JPU harus menuntut kedua terdakwa dengan pidana minimal 4 tahun atau maksimal 7 tahun penjara, dengan pertimbangan-pertimbangan yang ada dan jelas tanpa menimbulkan degradasi kepercayaan publik terhadap hukum. Dengan begitu tuntutan bukan berarti ketetapan persidangan. Artinya keobjektifan hukum oleh hakim akan diharapkan publik. Hal itu menjadikan citra kejaksaan dijadikan kambing hitam di mata publik, Mengapa?.

Dengan timbul reaksi masyarakat akibat tuntutan itu, hukum dimata publik dianggap alat bagi kekuasaan. Untuk mengembalikan tajamnya dalam menegakan hukum dan kepercayaan publik terhadap hukum itu sendiri, mungkinkah hakim akan mengambil putusan berbeda dengan tuntutan jaksa?.


Dan disini HAKIM sebagai suara keadilan tuhan, harus mewujudkan rasa keadilan masyarakat dengan memberikan pertimbangan penafsiran logis dalam memberikan putusannya, bahwa benar tuntutan JPU yg terbukti adalah pasal 353 ayat 2 KUHP, akan tetapi kembali lagi disini tuntutan JPU tidak memberikan rasa keadilan, karena aturan limitatif nya padahal sudah jelas diterangkan pada ayat 1 dan sangat jelas disana bahwa minimal 4 tahun penjara. Maka hakim harus memberikan vonis minimal 4 tahun dan maksimal 7 tahun penjara.

Jadi pendapat saya secara penafsiran logis dsini bahwa kita harus benar-benar memahami dalam membaca aturan-aturan hukum bukan hanya mengeja apa yang tertera, tetapi kita harus mampu khususnya mahasiswa hukum untuk mengetahui makna apa yang ada dibalik aturan hukum tersebut, sehingga rasa keadilan yang saya lihat telah hilang di mata masyarakat dapat didapatkan, diwujudkan dengan secara sebenar benarnya dan transparan dapat diterima oleh masyarakat luas.

Penulis : Imam Syafa'i
Editor : Nurmaya Safitri S.H

Sabtu, 06 Juni 2020

Keindonesiaanku Menggugat, Di TANGKAP nya Putra Terbaik Bangsa untuk mempertahankan NKRI.

Ditengah kegalauan bangsa ini. Menghadapi pandemi Corona Virus Desease (Covid-19). Putra terbaik bangsa, dengan semangat mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mantan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dengan pangkat terakhir Kapten Infantri. Ruslan Buton (RB) di pecat dari keanggotaan militernya akibat perbuatan penganiayaan berat kepada seorang tersangka pelaku kejahatan di daerah Maluku Utara pada awal bulan Oktober 2017. Atas perbuatannya tersebut, pengadilan militer memberikan sanksi berupa pemecatan dari anggota TNI.

Bahwa saat itu RB sedang bertugas sebagai Komandan Kompi sekaligus Komandan Pos Satgas SSK III Yonif RK 732/Banau dengan 10 anak buahnya. Kala itu, ada seorang yang bernama La Gode, petani cengkeh yang pencuri singkong parut 5 kilogram seharga Rp 200 ribu. Karena perbuatannya, ia ditahan di Pos Satuan Tugas Daerah Rawan—TNI kerap menyingkatnya ‘Satgas Ops Pamrahwan’—Batalyon Infanteri Raider Khusus 732/Banau, Lede, Pulau Taliabu, Maluku Utara.

Setelah dipecat dari TNI. RB kemudian mendirikan Yayasan Serdadu Eks trimatra Nusantara  yang beranggotakan para mantan prajurit TNI untuk melanjutkan perjuangan mereka membela Ibu Pertiwi. Yayasan ini juga telah dideklarasikan pada 25 Januari 2020 di Gedung Joeang’45, jalan Menteng Raya No. 31 Menteng Jakarta. RB sendiri yang menjadi Ketua Umumnya.

Publik harus memisahkan. Peristiwa kasus hukumnya dengan semangat membela NKRI. Melalui Surat Terbuka, RB beberapa kali menyampaikan rasa kekhawatiran terhadap ancaman bangsa. Dalam UUD 1945, Negara Indonesia memperjelas posisinya sebagai negara yang mengakui hak dan kebebasan setiap warga negara. Pasal 28 Menyebutkan: “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.

Tidak berhenti sampai di situ saja. Masih ada pasal dalam UUD 1945 yang mengatur tentang  kebebasan warga negara mengeluarkan pendapatnya. Selanjutnya Pasal 28E ayat (3) berbunyi “ Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Dipertegas lagi dengan pasal 28I ayat 1 yang berbunyi “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.

Hak asasi itu bukan hanya tidak boleh dibatasi oleh siapapun. Namun juga tidak bisa dikurangi dalam hal apapun. Sementara Pasal 28J ayat 1 mengatur batasan Hak Asasi itu dengan mengatakan : “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain”.

Artinya, batasan itu hanya ada pada pergaulan antar sesama warga negara. Bukan antara negara (pemerintah) dengan rakyatnya. Oleh karena itu, tidak ada batas kebebasan bagi warga negara untuk menegur negara. Bahkan MEMINTA BUKAN MENEGASKAN UNTUK presiden Mundur dari jabatannya sekalipun, Begitu aturannya. Mengkritik, mengecam, bahkan MEMINTA mundur presiden dari jabatannya adalah aspirasi masyarakat yang sesuai dengan konstitusi negara. Presiden dipilih oleh rakyat untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai presiden. Kalau rakyat merasa presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden, rakyat berhak untuk memintanya mundur. Itu haknya rakyat yang memilih presiden.

Kekuasaan itu tidak boleh membuat pejabatnya ”bertelinga tipis” atas kritikan rakyat. Jangan hanya mau mendengarkan pujian dan sanjungan semata-mata. Ini bukan negara feodal. 

Disini Tidak diragukan semangat RB untuk membela NKRI. Sebagai mantan anggota TNI. Menjadi tantangan ketika ada upaya pihak asing menguasai bangsa ini. Sehingga rasa kekhawatiran RB, dituliskan dalam beberapa Surat Terbuka yang ditujukkan kepada Presiden Jokowi. Namun pasca surat terbukanya viral. Ada pemberitaan beberapa media online oleh Koordinator Pandu Jokowi, Haryanto Subekti kepada suaranasional. "Kami sudah baca Surat Terbuka Ruslan Buton, isinya provokasi dan mengancam NKRI dan segera akan kami laporkan ke polisi," katanya dalam rilis pemeberitaannya. Jumat (22/5/2020). 

Jika tim gabungan dari Mabes Polri, TNI, Brimob dan POM di desa Wabula satu Kecamatan Wabula Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Selasa (28/5/2020) pagi. Menjemput RB terkait unusr laporan itu maka kiranya ini menjadi catatan kebangsaan. DIMANA UNSUR PROVOKASI dan MAKAR...? 

Dalam aksi perjuangan. Kami seringkali menghadapi tantangan termasuk kehadiran para TKA yang masuk di perusahaan tidak terdata jelas alias bermasalah. Hal itu pernah dikoordinasikan dengan pihak perusahaan maupun Keimigrasian Terante. Namun tidak mendapat hasil baik. Sehingga kuat dugaan ada permainan sistem untuk memudahkan masuknya para WN-Asing untuk menjadi TKA. Sangat berbahaya jika mereka (TKA) itu ilegal? di Republik ini.

Itu sebab sangat memungkinkan rasa kekhawatiran RB. Dengan masuknya para WN-Asing China. Sebagai ancaman bangsa dari pihak asing. Maka ketika RB disebut telah melakukan Makar. DIMANA MAKARNYA...??? Sementara tujuan dalam surat terbukanya itu jelas. Bagaimana kecintaan terhadap Bumi Pertiwi NKRI.



Jadi dari hemat saya kalau mau minta Presiden mundur adalah pidana bahwa konstitusi undang-undang 1945 yang mengatur dalam Pasal 7A dan 7B tentang presiden diberhentikan juga dapat dianggap sebagai panduan maka atau buku panduan kejahatan.

Semoga peristiwa ini menjadi pengingat dan pembelajaran, juga sebagai bahan referensi kecintaan kepada seseorang terhadap NKRI.

Kamis, 04 Juni 2020

KEBERADAAN “TEORI WELFARE STATE” DI INDONESIA DALAM PENANGANAN COVID-19

Negara Kesejahteraan (Welfare State) merupakan teori yang menegaskan bahwa Negara yang pemerintahannya menjamin terselenggaranya kesejahteraan rakyat

Sekilas tentang sebuah teori yang bernama Negara Kesejahteraan atau bisa disebut Teori Welfare State yaitu merupakan teori yang sejalan dengan dasar Negara Indonesia dan menegaskan bahwa Negara yang pemerintahannya menjamin terselenggaranya kesejahteraan rakyat. Untuk dapat mewujudkan kesejahteraan rakyatnya harus didasarkan pada lima pilar kenegaraan, yaitu Demokrasi (Democracy), Penegakan Hukum (Rule of Law), Perlindungan Hak Asasi Manusia (The Human Right Protection), Keadilan Sosial (Social Justice) dan Anti Diskriminasi (Anti Discrimination).
Sejak Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 dan disahkannya Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UUD 1945 digunakan sebagai pijakan Negara untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. UUD 1945 adalah sebuah dasar Negara yang dibuat atas dasar semangat dan kesadaran untuk membangun suatu Negara yang Demokrasi serta menciptakan tatanan masyarakat berkeadilan sosial, berkesemakmuran dan sejahtera bersama-sama. Maka atas dasar tersebut lahirnya suatu Konsep Negara Kesejahteraan (Welfare State) di Indonesia.
Jika dilihat berdasarkan Perkembangan Hukum dalam Bidang Ekonomi setelah berkembangnya Konsep Negara Kesejahteraan, yang dimaksud dengan Negara Kesejahteraan adalah suatu bentuk pemerintahan demokratis yang menegaskan bahwa negara bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat yang minimal, bahwa pemerintah harus mengatur pembagian kekayaan negara agar tidak ada rakyat yang kelaparan, tidak ada rakyat yang menemui ajalnya karena tidak dapat membayar biaya rumah sakit, juga dapat dikatakan bahwa negara kesejahteraan mengandung unsur sosialisme, mementingkan kesetaraan di bidang politik maupun di bidang ekonomi. Dengan demikian, konsep negara kesejahteraan (welfare state) yang sebelumnya mengidealkan perluasan tanggungjawab negara ke dalam urusan-urusan masyarakat dan pasar, pada masa kini dituntut untuk melakukan liberalisasi dengan mengurangi peran untuk menjamin efisiensi dan efektifitas pelayanan umum yang lebih memenuhi harapan rakyat.
Penggagas Teori Welfare State  adalah Prof. Mr. R. Kranenburg, dia mengungkapkan “Negara harus secara aktif mengupayakan kesejahteraan, bertindak adil yang dapat dirasakan seluruh masyarakat secara merata dan seimbang, bukan menyejahterakan golongan tertentu tapi seluruh rakyat.” Teori Welfare State tersebut sering kali dimaknai berbeda oleh setiap orang maupun Negara. Namun, teori tersebut secara garis besar setidaknya mengandung 4 (empat) makna, antara lain sebagai berikut:
(i) Sebagai kondisi sejahtera (well-being), kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-material. Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari risiko-risiko utama yang mengancam kehidupannya; (ii) Sebagai pelayanan sosial, umumnya mencakup lima bentuk, yakni jaminan sosial (social security), pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan dan pelayanan sosial personal (personal social services); (iii) Sebagai tunjangan sosial, kesejahteraan sosial yang diberikan kepada orang miskin. Karena sebagian besar penerima kesejahteraan adalah masyarakat miskin, cacat, pengangguran yang kemudian keadaan ini menimbulkan konotasi negatif pada istilah kesejahteraan, seperti kemiskinan, kemalasan, ketergantungan, dan lain sebagainya; (iv) Sebagai proses atau usaha terencana, sebuah proses yang dilakukan oleh perorangan, lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan melalui pemberian pelayanan sosial dan tunjangan sosial.
Pengertian tentang Negara Kesejahteraan (Welfare State) tidak dapat dilepaskan dari empat definisi kesejahteraan di atas. Negara Kesejahteraan sangat erat kaitannya dengan kebijakan sosial (social policy) yang dibanyak Negara mencakup strategi dan upaya-upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan warganya, terutama melalui perlindungan sosial (social protection) yang mencakup jaminan sosial (baik berbentuk bantuan sosial dan asuransi sosial) maupun jaring pengaman sosial (social safety net). Akan tetapi berdasarkan penjelasan di atas, Negara Kesejahteraan hanyalah sebuah Konsep. Berdasarkan Wikipedia, Istilah konsep berasal dari bahasa latin conceptum, artinya sesuatu yang dipahami. Aristoteles dalam "The classical theory of concepts" menyatakan bahwa konsep merupakan penyusun utama dalam pembentukan pengetahuan ilmiah dan filsafat pemikiran manusia. Maka dapat disimpulkan Negara Kesejahteraan atau Walfare State tersebut adalah suatu konsep dari pemerintahan yang mana negara mengambil peran penting dalam perlindungan dan pengutamaan kesejahteraan ekonomi dan sosial warga negaranya. Apabila konsep tersebut dijalankan sesuai dengan 4 (empat) makna yang terkandung dalam penjelasan di atas, maka Negara tersebut dapat dikatakan berhasil menerapkan Teori Walfare State. Akan tetapi bagaimana dengan Indonesia?? Sejalan dengan di Sahkannya UUD Tahun 1945, Apakah Indonesia dapat menjalankan konsep Teori Negara Kesejahteraan (Walfare State) ??
Dari penjelasan dan pemaparan teori di atas. Perkembangan Teori ini di Indonesia sudah cukup baik terlihat dalam hal perencanaan dan sistem nya.  Dalam implementasinya, Pemerintah Indonesia berusaha menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana yang telah diamanatkan dalam  UUD 1945 yang secara tegas mengamanatkan kesejahteraan sosial sebagai prioritas tertinggi kebijakan publik negeri ini. Kesejahteraan sosial tersebut tertuang dalam UUD 1945 yang diantaranya menyatakan, bahwa perekonomian berdasarkan atas asas kekeluargaan, membiayai pendidikan dasar, mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu serta menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Dengan kondisi tersebut, Pemerintah Indonesia berusaha melaksanakan dan mewujudkan Negara Kesejahteraan (Welfare State)  berdasarkan UUD 1945, melalui:  (i) Sistem jaminan sosial, sebagai backbone program kesejahteraan; (ii) Pemenuhan hak dasar warga Negara melalui pembangunan berbasis sumber daya produktif perekonomian, khususnya kesehatan dan pendidikan, sebagai penopang sistem jaminan sosial, menciptakan lapangan kerja secara luas sebagai titik tolak pembangunan, dan menyusun kekuatan perekonomian melalui koperasi sebagai bentuk badan usaha yang paling dominan dalam perekonomian; (iii) Pemerataan ekonomi yang berkeadilan sebagai hasil redistribusi produksi serta penguasaan produksi secara bersama-sama melalui koperasi, (iv) Reformasi birokrasi menciptakan pemerintahan yang kuat dan responsif sebagai agent of development dan penyedia barang dan jasa publik secara luas, serta pengelolaan sumber daya alam sebagai penopang Negara Kesejahteraan (Welfare State) untuk menegakkan keadilan sosial.
Hal ini sejalan dengan UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, yang mendefinisikan kesejahteraan sosial merupakan kondisi terpenuhinya kebutuhan materian, spiritual dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Akan tetapi ada sisi lain yang minim dari Indonesia. Yakni kurangnya perhatian pemerintah dalam menyosialisasikan kepada masyarakat serta minim nya pengetahuan masyarakat terhadap ruang publik yang telah disediakan oleh pemerintahan. Dalam permasalahan tersebut banyak terjadi ketidaktahuan terhadap suatu hal yang di tetapkan oleh pemerintahan sehingga banyak masyarakat yang merasa tidak ada di berikan pelayanan publik oleh pemerintahan, padahal pemerintahan sudah menerapkan serta menyediakan ruang nya.
Apalagi dalam masa pandemi COVID-19 ini masih banyak hal yang perlu di evaluasi dari pemerintahan untuk tidak terlalu gegabah dalam menetapkan kebijakan, karena ketika pemerintahan sudah lengah terhadap situasi pandemi seperti ini bisa di bayang-bayangi oleh kepanikan massal. Yang menyebabkan terancam nya posisi pemerintahan yang di percaya oleh semua warga negara nya menjadi hilang bahkan tak tidak tersisa sedikitpun.
Di Dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) Tahun 2020 kali ini yang di publikasikan Kementerian Keuangan RI dalam laman menunjukkan bahwa 20% dari belanja APBN untuk pendidikan dan 5% dari belanja APBN untuk kesehatan.  Di dalam penetapan pembiayaan investasi juga masih ada kesalahan dimana pemerintahan belum mencantumkan kesehatan untuk ditujukan dalam peningkatan kualitas nya. Dari situ lah terlihat, masih minimnya perhatian pemerintahan terhadap masyarakat terutama dalam bidang kesehatan. Dengan adanya teori kesejahteraan ini, diharapakan mampu menyelaraskan dengan disahkannya Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai pijakan Negara untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Akan tetapi Indonesia masih kurang mampu melaksanakan teori ini karena masih banyak aktor dalam bayangan mengambil bukan haknya. Di mana seharusnya kita masyarakat mampu menerima semua nya akan tetapi tidak bisa merasakan sama sekali apa yang sudah di tetapkan.


SALAM SEJAHTERA. SEMOGA KITA SELALU DIBERIKAN KESEHATAN
DAN BAHAGIA SELALU

Menyingkap Tabir Kekhawatiran apakah diberlakukan "New Normal" membuat Lelah dan Putus Asa karena melihat Partisipasi Masyarakat?


Besok tanggal 5 juni 2020 khususnya di Kabupaten Kotabaru dimana saya berasal juga telah diberlakukan “New Normal” sesuai dengan keputusan dan arahan Presiden RI tanggal 15 Mei 2020 tentang Prosedur Standar Tatanan Baru untuk menuju masyarakat produktif dan aman dalam  penanggulangi wabah pandemi Covid 19 yang memporandakan tatatan kehidupan manuasia secara global. Dan tak hanay itu, keputusan tersebut juga diturunkan Presiden RI Nomor 11 Tahun2020 Tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat COVID-19,  Sebagai negara hukum seharusnya tindakan yang dilakukan pemerintah harus ada dasar hukum. Menilik filosofi dalam mempertimbangkan peraturan ini yaitu :

1.Dengan selesainya pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar  dan menurunnya angka Orang Dalam Pengawasan, Pasien Dalam Pengawasan serta meningkatnya jumlah pasien yang sembuh;
2.Untuk memutus mata rantai penularan Corona virus Disease 2019 (Covid-19) dilakukan upaya diberbagai aspek kehidupan baik aspek Penyelenggaraan Pemerintahan, Kesehatan, Sosial, maupun Ekonomi;
3.Berdasarkan Pidato Presiden Joko Widodo Pada tanggal 16 Mei 2020 mengenai “New Normal, berdamai dengan Covid-19” Presiden memerintahkan kepada Gubernur, Walikota dan Bupati di 4 Provinsi dan 25 Kabupaten/Kota untuk melaksanakan “New Normal” di wilayahnya.

Pertanyaan kita apakah betul tidak ada penambahan kasus baru di Banua kita tercinta ini ? Apa sudah dilakukan test masif baik RT dan PCR kepada masyarakat. Atau mungkin karena sudah terbentuk HERD IMUNNITY di Masyarakat Banua. Menurut perlu keterbukaan masalah ini. Sebagai seorang masyarakat dan juga masih berstatus Mahasiswa Hukum, melihat diberlakukan nya PSBB kemarin, rasanya sulit menerima data bahwa betul2 tidak ada penambahan. Ditingkat nasional KalSel menjadi urutan ke 2 penambahan kasus baru terkonfirmasi. Saya sangat khawatir dengan dihentikannya PSBB dan diterapkannya New Normal akan membongkar PHENOMENA GUNUNG ES dan pasti RS dan NAKES akan kewalahan. Dan juga diliat dari Mimimnya ketersedian RT dan PCR dan kapasitas ruang isolasi yang masih sedikit ada sekitar 15 ruangan dan walaupun ada penambahan ruangaan TAPI sampai hari in masih pembangunan. Beberapa persyaratan yang disyaratkan WHO apa sudah terpenuhi ? syarat seperti dibawah ini :
1.Terbukti bahwa Transmisi Covid bisa dikendalikan
2.Sistem Kesehatan Masyarakat telah mampu memitigasi, mengidentifikasi, mengisolasi, menguji dan melacak kontak dan mengkarantina
3.Mengurangi resiko wabah dengan pengaturan yang ketat terhadap tempat yg resiko tinggi seperti rumah jompo, kesehatan mental dan pemukiman padat
4.Pencegahan ditempat kerja dengan penerapan protokol kesehatan pencegahan covid yang ketat dan berwibawa
5.Resiko penyebaran IMPORTED CASE dapat dikendalikan
6.Partisipasi masyarakat yang TINGGI dsn Aktif dala masa transisi ini.

Sepertinya belum, tapi kenapa Tatanan Normal Baru diberlakukan dengan kondisi pandemik yang mencapai puncaknya. Apa sudah kehabisan Anggaran atau sudah LELAH dan PUTUS ASA karena melihat partisipasi masyarakat yang ada.

Pertanyaan kita selanjutnya dasar hukum dalam pertimbangan ini adalah ada perintah dalam PIDATO Presiden tanggal 16 Mei 2020, dalam Hukum Tata Negara dan hirarki hukum di Indonesia, TIDAK ada PIDATO Presiden sebagai SUMBER HUKUM. Aneh apakah negara kita negara kerajaan atau monarki ?.

TENTANG PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA BESAR DALAM RANGKA PERCEPATAN PENANGANAN CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) yang merupakan pelaksanaan amanat terhadap UU NOMOR 4 tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit dan UU NOMOR 6 tahun 2018 tentang KKM. Pelaksanaan dan Pencabutan PSBB disuatu daerah harus melalui SK dari Menkes RI. Untuk mendasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK. 01.07/MENKES/304/2020 tentang Penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar Di Wilayah Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, dan Kota Banjarbaru, Provinsi Kalimantan Selatan Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19);
Jadi menurut saya ada tindakan penerapan tatanan New Normal diberlakukan dibeberapa daerah di Banua ini maka, perlu dikaji secara hukum sebagai tindakan inkonstisional dan di evaluasi apa saja yang masih dipersiapkan dan apa saja yang kurang berdasarkan kepentingan rakyat dan kesejahteraan rakyat.


Selasa, 02 Juni 2020

Hiruk pikuk sosial dalam "equality before the law" untuk kesejahteraan rakyat.

Asas “Equality Before the Law” menjadi salah satu konsep hukum bagi setiap negara hukum di dunia, tak terkecuali di Indonesia.

Equality Before The Law adalah satu terminologi hukum yang memiliki makna adanya persamaan posisi di hadapan hukum, yang berarti terdapat suatu kesetaraan atau kesamaan dalam hukum pada setiap individu.

Di Indonesia, asas ini dibingkai dalam Pasal 27 ayat 1, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), yakni: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan  itu dengan tidak ada kecualinya.”

Artinya, keberadaan makna “Equality Before the Law” memiliki kesetaraan makna dengan makna yang terkandung dalam Pasal 27 Ayat 1 UUD 1945, yaitu setiap warga negara Indonesia kedudukan haknya sama dan tidak dibeda-bedakan di dalam hukum dan pemerintahan. Dengan kata lain, kondisi sosial dalam implementasi hukum di Indonesia haruslah memegang teguh asas ataupun prinsip “Equality Before the Law”.
  
Akan tetapi, sejumlah fenomena hiruk-pikuk sosial dalam “Equality Before the Law” menjadi satu konsumsi bagi sosial-kemasyarakatan kita saat ini. Tidak sedikit keresahan sosial yang kita dapati akibat dari kurangnya implementasi “Equality Before the Law” dalam kehidupan sosial kita. Misalnya, fenomena pelaksanaan PSBB dalam situasi pandemi COVID-19. Dalam hal ini, tampak penerapan hukum atas kondisi sosial PSBB masih kurang maksimal. Masih terlihat samar adanya pejabat publik yang melanggar kondisi PSBB, sementara itu warga biasa diterapkan untuk ketat melaksanakan keberadaan PSBB.   

Jelas adanya, pemerintah telah memberikan aturan serta prosedur yang patutnya dijadikan pedoman dalam melaksanakan berbagai kegiatan sosial-kemasyarakatan. Hal ini menjadi penting bagi kita masyarakat sosial dalam mencapai tujuan pemerintah, yakni memetakan dan memutuskan mata rantai penyebaran pandemi COVID-19 yang sedang kita alami.

Kondisi adanya hiruk-pikuk “Equality Before the Law” telah dipaparkan oleh Donald Black dalam buku The Behaviour of Law, yaitu proses bekerjanya hukum di samping menegakkan pasal-pasal dalam undang-undang, juga dipengaruhi oleh faktor di luar hukum. Salah satunya adalah stratifikasi sosial. Semakin kuat stratifikasi sosial (kedudukan) seseorang, maka semakin berpotensi orang itu mendapatkan perlakuan berbeda di depan hukum. Di sisi lain, pakar hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Mudzakir menggambarkan bahwa implementasi pelaksanaan PSBB di Indonesia masih perlu penerapan hukum yang tegas, yakni peraturan yang tidak diskriminatif.      

Guna mengatasi hiruk-pikuk sosial tersebut, perlu adanya integritas, kredibilitas, profesionalisme, dan kesadaran hukum oleh masyarakat serta penegak hukum, khususnya pada prinsip “Equality Before the Law”. Bila hal ini dapat digalakkan, maka tidak akan ada lagi yang namanya pepatah “hukum Indonesia tajam ke bawah, tumpul ke atas”. Denga kata lain, keberadaan Pasal 27 Ayat 1 UUD 1945 nyata tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan kita.


HIDUP MAHASISWA
HIDUP RAKYAT INDONESIA
SALAM KEADILAN, VIVA JUSTICE

Jumat, 29 Mei 2020

Asas “Salus Populi Suprema Lex Esto”. Ibarat pepatah "Habis Manis Sepah Dibuang" the New Normal Oligarki dan Sekulerisme

Sangat tepat sekali pepatah "habis manis sepah dibuang" kita senandungkan pada penanganan pandemi covid19 di negara kita. Dari awal penerapan aturan dalam rangka pengendalian pandemi covid ini para pejabat dan aparat keamanan ingin memaksakan imbauan #dirumahAja dan pemakaian masker dan social and physical distanching dengan alasan dan asas  Hukum Tertinggi Adalah Keselamatan Rakyat (Salus Populi Suprema Lex Esto).
           
Memang imbas terburuk serangan covid-19 mungkin ekonomi. Namun, dengan prinsip Salus populi suprema lex esto  (keselamatan rakyat hukum tertinggi), pemerintah wajib mengutamakan perintah konstitusi "melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia". Artinya, pemerintah harus all out  mengerahkan segala kemampuan fokus menyelamatkan hidup setiap orang dari serangan covid-19. Untuk itu, semua kekuatan ekonomi dan keuangan negara termasuk yang harus diakomodasi dalam memerangi covid-19. Bukan sebaliknya, kekuatan keuangan negara diambil sedikit saja untuk perang melawan covid-19, agar usai perang nanti ekonomi tetap kuat untuk bangkit. Akibatnya, alat pelindung diri (APD) para pejuang di garis depan malah compang-camping, hingga banyak dokter dan tenaga medis tewas dirasuki virus covid-19.
    
Pengerahan kemampuan keuangan negara untuk perang melawan covid-19, sebagai bandingan, Presiden Trump mengucurkan 1 triliun dolar AS (setara 15 ribu triliun rupiah), sedangkan Indonesia membagi stimulus untuk pariwisata (supaya penerbangan ramai dan lancar) serta sektor manufaktur, semua kepentingan ekonomi, bukan prioritas untuk front melawan covid-19. Berikutnya, kekuatan terpenting negara ini ada pada rakyatnya yang berjumlah 270 juta orang. Perang semesta rakyat harus digerakkan melawan covid-19, bukan dengan "satu kata". Sebab kalau "satu kata", bisa lain kata dengan perbuatan, atau lain di mulut lain di hati. Justru kecenderungan lain kata dengan perbuatan dan lain di mulut lain di hati itulah penyebab bangsa kita kedodoran melawan covid-19. Kalangan elite berkata kita bersatu melawan covid-19, tapi otaknya berpikir bagaimana bisa lebih cepat menindas dan memeras rakyat lewat omnibus law. Sedang rakyat, terutama buruh, berpikir bagaimana bisa mogok nasional menolak omnibus law.
        
Jadi yang lebih penting dalam perang semesta rakyat melawan covid-19 adalah segenap komponen bangsa, dari elite hingga jelata, "satu hati". Untuk bisa bersatu-padu dalam "satu hati", tentu apa yang menjadi antagonisme membelah "hati" elite dan jelata dalam pertentangan, harus disingkirkan jauh-jauh. Terlihat jelas dalam penanganan wabah ini pemerintah terlambat mengatisipasi, sejak terjadinya wabah ini di Wuhan China akhir desember 2019 dan dengan cepat menyebar ke penjuru dunia sehingga di bulan februari 2020 WHO menetapkan sebagai Pandemi. Tapi rezim Jokowi menganggap enteng dan bilang Indonesia kebal terhadap virus ini. Namum dalam sekejab terjadi penyebaran yang masif sampai hari ini tanggal 28 Mei 2020 sudah lebih 1400 yang meninggal karena covid 19. Padahal hal ini dicegah kalau saat awal itu pemerintah pusat berani mengambil kebijakan Karantina dan penutupan bandara, tapi malah menyediakan 75 M untuk influeser menggerakan pariwisata ditengah pandemi ini banyak orang yang berpendapat bahwa tindakan ini konyol.


    
Dari aspek kepastian hukum, pelaksanaan penanganan wabah covid 19 dilapangan sering berbenturan dan tidak ada kepastian hukum tindakan para petugas. Dengan memutuskan KKM dengan PSBB maka tidak landasan hukum untuk karantina atau isolasi penderita covid dan memaksa orang untuk #Stayhome dan #Work From Home dan tidak ada sanksi pidana dan denda bila melanggar aturan dan kegiatan PSBB dan tidak bisa melarang untuk keluar masuk suatu wilayah. Namum para pelaksana dilapangan dan aparat hukum menggunakan asas Hukum Tertinggi Adalah Keselamatan Rakyat (Salus Populi Suprema Lex Esto) untuk menerapkan usaha2 yang bukan bagian dari PSBB tapi bagian kegiatan dari Karantina atau Lockdown, bahkan ada maklumat Kapolri yang akan mempidanakan dengan menggunakan pasal pidana di KUHP dan di UU Wabah no 4 tahun 1984 dan UU 6 tahun 2018 tentang KKM. Seharusnya kalau memakai asas Hukum Tertinggi Adalah Keselamatan Rakyat (Salus Populi Suprema Lex Esto) maka KKM dengan Karantina atau Lockdown dipilih.
   
Dalam penerapannya, jika suatu wilayah menerapkan karantina wilayah maka akan terus menerus dijaga oleh pejabat karantina wilayah dan Kepolisian Republik Indonesia karena anggota masyarakat tidak diperbolehkan keluar dan masuk wilayah yang dikarantina. Artinya, tidak ada akses apapun untuk orang masuk atau orang keluar ke wilayah yang dikarantina, termasuk juga akses melalui udara, laut dan darat. Warga dalam wilayah yang dikarantina benar-benar hanya berdiam di rumah saja, atau istilahnya “Work From Home”. dan dengan Rezim Karantina ada kepastian hukum dalam memaksa rakyat dan masyarakat untuk tinggal dirumah dan dilarang mudik ataupun pulang kampung. Akan tetapi UU memberikan kewajiban dan memerintahkan kepada pemerintah pusat untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina. Dan tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Karantina Wilayah tersebut dilakukan dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak yang terkait.
   
Tetapi dalam upaya memerangi Pandemi COVID-19 dengan kondisi dan situasi darurat sekarang ini dimana keselamatan rakyat menjadi taruhannya maka pemerintah seharusnya menjalankan segala daya upaya untuk memutus rantai penyebaran COVID-19 ini agar Indonesia bisa kembali pulih. Hal tersebut merupakan suatu conditio sine quanon sesuai asas hukum yang dicetuskan oleh Marcus Tullius Cicero yaitu “Salus populi suprema lex esto” yang artinya adalah keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.
      
Asas hukum Salus populi suprema lex esto merupakan fundamen dari Alenia keempat UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada…?”. Ini merupakan alenia sakral yang menjadi tujuan pembentukan negara Republik Indonesia. Perlindungan segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia ini merupakan hukum tertinggi bagi negara ini. Itulah mengapa tujuan perlindungan segenap bangsa dan seluruh tumpah darah tertuang dalam Pembukaan Konstitusi Indonesia sebagai hukum tertinggi.
     
Di bidang penegakan hukum dalam rangka mendukung kebijakan pemerintah beberapa instansi telah menerapkan asas ini di antaranya: Kepolisian RI dengan menerbitkan Maklumat Kapolri Jendral Idham Azis No. Mak/2/lll/2020 tanggal 19 Maret 2020 tentang Kepatuhan terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona (Covid-19). Melalui maklumat ini maka Kepolisian dimungkinkan untuk bertindak secara represif bagi orang-orang yang dengan sengaja menolak untuk mematuhi protokol dan himbauan pemerintah apabila perlu dengan menerapkan ketentuan pidana menurut Undang-undang nomor 4 Tahun 1984 pasal 14 tentang wabah penyakit menular, Undang-undang nomor 6 Tahun 2018 pasal 93 tentang Kekarantinaan Kesehatan, serta pasal-pasal didalam KUHP yaitu pasal 212, pasal 214, Pasal 216 ayat (1) serta pasal 218. Setelah hampir 3 bulan Indonesia dilanda pandemi covid 19 tampaknya pemerintah sudah kewalahan dan timbul keputusasaan dan sudah banyak menguras dana yang sangat besar dan pemerintah sudah pengalokasikan 405 T dan dari hasil laporan gugus tugas angka kejadian dan kematian akibat covid 19 terus meningkat dan belum ada tanda2 penurunan walaupun beberapa daerah sudah menerapkan PSBB. Pada tanggal 27 Mei 2020 Presiden memfasilitasi pembukaan aktifitas Mall dan Perkantoran dan Pabrik yang akan diperbolehkan beroperasi seperti biasa tapi tetap dengan menggunakan protokol kesehatan pencegahan covid 19. Alasan utama adalah untuk menggerakan roda ekomomi rakyat (pengusaha besar pemilik Mall) Dalam rangka mempersiapkan penerapan NEW NORMAL yang jelas belum ada landasan hukumnya selama PSBB tidak dicabut dan Persyaratan dari WHO belum terpenuhi. Suatu negara yang akan menerapkan The New Normal harus memenuhi syarat seperti dibawah ini :
  1. Terbukti bahwa Tramsmisi Covid bisa dikendalikan
  2. Sistem Kesehatan Masyarakat telah mampu memitigasi, mengidentifikasi, mengisolasi, menguji dan melacak kontak dan mengkarantina
  3. Mengurangi resiko wabah dengan pengaturan yang ketat terhadap tempat yg resiko tinggi seperti rumah jompo, kesehatan mental dan pemukiman padat
  4. Pencegahan ditempat kerja dengan penerapan protokol kesehatan pencegahan covid yang ketat dan berwibawa
  5. Resiko penyebaran IMPORTED CASE dapat dikendalikan
  6. Partisipasi masyarakat yang TINGGI dsn Aktif dala masa transisi ini.


Pemaksaan penerapan New Normal dalam kondisi SAAT INI menurut saya sebagai rakyat dan juga Mahasiswa Hukum bahwa tidak tepat dari segi penanggulangan wabah covid 19 yang telah menelan korban jiwa hampir 1.500 jiwa. PSBB saja tidak menunjukkan keberhasilan seharusnya dievaluasi dan perlu diterapkan usaha yang lebih radikal yaitu KARANTINA atau Lockdown untuk seluruh wilayah atau hanya wilayah tertentu dan secara hukum harus merevisi Keppres KKM dan PP PSBB nya Namun sepertinya hal ini TIDAK ditanggapi rezim ini karena rezim sudah memastikan akan memasuki NEW NORMAL dengan konsep HERD IMUNNITY secara ALAMIAH ( Seleksi alam ujar Amang DARWIN ). 

     Tindakan ini telah mengkebiri asas Hukum Tertinggi Adalah Keselamatan Rakyat (Salus Populi Suprema Lex Esto) yang awalnya diagung2kan untuk memberi pembenaran tindakan represif aparat pemerintah, TAPI akhir nya bergeser ke asas KESELAMATAN OLIGARKI dan Pengusaha dan Sekularisme jadi Hukum tertinggi, "Habis manis Sepah Dibuang".

FARMASIS DIUJUNG TANDUK, PEMERINTAH KEMANA ?

Saya paham betul, negara ini sedang berusaha bangkit dari keterpurukan. Hantaman COVID 19 bukan main, duka mendalam bagi angka kesaki...