Minggu, 14 Juni 2020

MENGEMBALIKAN TAJAMNYA PEDANG SANG PENDEKAR YANG DIKAMBING HITAM KAN KEKUASAAN, PADA TUNTUTAN KASUS NOVEL BASWEDAN



Tuntutan 1 tahun penjara oleh 2 pelaku penganiyayaan berat terhadap Novel Baswedan (NB), saya katakan sangat-sangat tidak adil dan sangat tidak berdasarkan perundang undangan,  disini juga dalam penafsiran logis pada kalimat "tidak sengaja" dalam persidangan ini, letak "tidak sengaja" oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) hanya pada yang katanya hendak menyiram badan tapi kena muka. Inilah yang keliru. Padahal "tidak sengaja" seharusnya ditimbang pada apakah pelaku tindak pidana menghendaki dan mengetahui (Willens en wetens) perbuatan tersebut. Dan jika memperhatikan kronologinya maka sangat jelas ini merupakan unsur kesengajaan.

Mengapa secara demikian bisa terjadi didalam dakwaan dan tuntuan oleh JPU dimana memberikan dakwaan yang berlapis terhadap 2 pelaku tersebeut. Pasal pertama (primer) pasal 355 ayat 1 KUHP, yang isinya yaitu tentang orang yg dari awal yg merencanakan untuk melakukan penganiyayaan berat kepada sesorang maka ancaman hukumannya maksimal 12 tahun penjara. Didalam pembuktian dimuka sidang saya sepakat bahwa diliat dari pasal 355 ayat 1 memang tidak terbukti karna dari awal kedua terdakwa tersebut tidak ada rencana melakukan penganiyayaan berat terhadap NB. Dan didalam dakwaan kedua subsider JPU disini mendakwa pasal 353 ayat 2 KUHP ancaman pidana 7 tahun penjara , apabila perencanaan pnganiyaan ini mengakibatkan sesorang mengalami luka berat atau cacat, maka ancamannya adalah 7 tahun penjara.

Mari Kita lihat lagi di pasal 353 ayat 1 KUHP bahwa apabila perencanaan penganiyayaan itu penganiyayaan ringan maka ancamannya pidana 4 tahun penjara, maka diliat ketentuan ayat 1 kita liat secara logis , apabila mengakibatkan  luka berat dan cacat maka ini penganiyayaan berat sebagaimana pasal 353 ayat 2 KUHP tidak boleh dibawah 4 tahun tetapi tidak pula diatas 7 tahun penjara, Maka JPU harus menuntut kedua terdakwa dengan pidana minimal 4 tahun atau maksimal 7 tahun penjara, dengan pertimbangan-pertimbangan yang ada dan jelas tanpa menimbulkan degradasi kepercayaan publik terhadap hukum. Dengan begitu tuntutan bukan berarti ketetapan persidangan. Artinya keobjektifan hukum oleh hakim akan diharapkan publik. Hal itu menjadikan citra kejaksaan dijadikan kambing hitam di mata publik, Mengapa?.

Dengan timbul reaksi masyarakat akibat tuntutan itu, hukum dimata publik dianggap alat bagi kekuasaan. Untuk mengembalikan tajamnya dalam menegakan hukum dan kepercayaan publik terhadap hukum itu sendiri, mungkinkah hakim akan mengambil putusan berbeda dengan tuntutan jaksa?.


Dan disini HAKIM sebagai suara keadilan tuhan, harus mewujudkan rasa keadilan masyarakat dengan memberikan pertimbangan penafsiran logis dalam memberikan putusannya, bahwa benar tuntutan JPU yg terbukti adalah pasal 353 ayat 2 KUHP, akan tetapi kembali lagi disini tuntutan JPU tidak memberikan rasa keadilan, karena aturan limitatif nya padahal sudah jelas diterangkan pada ayat 1 dan sangat jelas disana bahwa minimal 4 tahun penjara. Maka hakim harus memberikan vonis minimal 4 tahun dan maksimal 7 tahun penjara.

Jadi pendapat saya secara penafsiran logis dsini bahwa kita harus benar-benar memahami dalam membaca aturan-aturan hukum bukan hanya mengeja apa yang tertera, tetapi kita harus mampu khususnya mahasiswa hukum untuk mengetahui makna apa yang ada dibalik aturan hukum tersebut, sehingga rasa keadilan yang saya lihat telah hilang di mata masyarakat dapat didapatkan, diwujudkan dengan secara sebenar benarnya dan transparan dapat diterima oleh masyarakat luas.

Penulis : Imam Syafa'i
Editor : Nurmaya Safitri S.H

1 komentar:

FARMASIS DIUJUNG TANDUK, PEMERINTAH KEMANA ?

Saya paham betul, negara ini sedang berusaha bangkit dari keterpurukan. Hantaman COVID 19 bukan main, duka mendalam bagi angka kesaki...