Jumat, 29 Mei 2020

Asas “Salus Populi Suprema Lex Esto”. Ibarat pepatah "Habis Manis Sepah Dibuang" the New Normal Oligarki dan Sekulerisme

Sangat tepat sekali pepatah "habis manis sepah dibuang" kita senandungkan pada penanganan pandemi covid19 di negara kita. Dari awal penerapan aturan dalam rangka pengendalian pandemi covid ini para pejabat dan aparat keamanan ingin memaksakan imbauan #dirumahAja dan pemakaian masker dan social and physical distanching dengan alasan dan asas  Hukum Tertinggi Adalah Keselamatan Rakyat (Salus Populi Suprema Lex Esto).
           
Memang imbas terburuk serangan covid-19 mungkin ekonomi. Namun, dengan prinsip Salus populi suprema lex esto  (keselamatan rakyat hukum tertinggi), pemerintah wajib mengutamakan perintah konstitusi "melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia". Artinya, pemerintah harus all out  mengerahkan segala kemampuan fokus menyelamatkan hidup setiap orang dari serangan covid-19. Untuk itu, semua kekuatan ekonomi dan keuangan negara termasuk yang harus diakomodasi dalam memerangi covid-19. Bukan sebaliknya, kekuatan keuangan negara diambil sedikit saja untuk perang melawan covid-19, agar usai perang nanti ekonomi tetap kuat untuk bangkit. Akibatnya, alat pelindung diri (APD) para pejuang di garis depan malah compang-camping, hingga banyak dokter dan tenaga medis tewas dirasuki virus covid-19.
    
Pengerahan kemampuan keuangan negara untuk perang melawan covid-19, sebagai bandingan, Presiden Trump mengucurkan 1 triliun dolar AS (setara 15 ribu triliun rupiah), sedangkan Indonesia membagi stimulus untuk pariwisata (supaya penerbangan ramai dan lancar) serta sektor manufaktur, semua kepentingan ekonomi, bukan prioritas untuk front melawan covid-19. Berikutnya, kekuatan terpenting negara ini ada pada rakyatnya yang berjumlah 270 juta orang. Perang semesta rakyat harus digerakkan melawan covid-19, bukan dengan "satu kata". Sebab kalau "satu kata", bisa lain kata dengan perbuatan, atau lain di mulut lain di hati. Justru kecenderungan lain kata dengan perbuatan dan lain di mulut lain di hati itulah penyebab bangsa kita kedodoran melawan covid-19. Kalangan elite berkata kita bersatu melawan covid-19, tapi otaknya berpikir bagaimana bisa lebih cepat menindas dan memeras rakyat lewat omnibus law. Sedang rakyat, terutama buruh, berpikir bagaimana bisa mogok nasional menolak omnibus law.
        
Jadi yang lebih penting dalam perang semesta rakyat melawan covid-19 adalah segenap komponen bangsa, dari elite hingga jelata, "satu hati". Untuk bisa bersatu-padu dalam "satu hati", tentu apa yang menjadi antagonisme membelah "hati" elite dan jelata dalam pertentangan, harus disingkirkan jauh-jauh. Terlihat jelas dalam penanganan wabah ini pemerintah terlambat mengatisipasi, sejak terjadinya wabah ini di Wuhan China akhir desember 2019 dan dengan cepat menyebar ke penjuru dunia sehingga di bulan februari 2020 WHO menetapkan sebagai Pandemi. Tapi rezim Jokowi menganggap enteng dan bilang Indonesia kebal terhadap virus ini. Namum dalam sekejab terjadi penyebaran yang masif sampai hari ini tanggal 28 Mei 2020 sudah lebih 1400 yang meninggal karena covid 19. Padahal hal ini dicegah kalau saat awal itu pemerintah pusat berani mengambil kebijakan Karantina dan penutupan bandara, tapi malah menyediakan 75 M untuk influeser menggerakan pariwisata ditengah pandemi ini banyak orang yang berpendapat bahwa tindakan ini konyol.


    
Dari aspek kepastian hukum, pelaksanaan penanganan wabah covid 19 dilapangan sering berbenturan dan tidak ada kepastian hukum tindakan para petugas. Dengan memutuskan KKM dengan PSBB maka tidak landasan hukum untuk karantina atau isolasi penderita covid dan memaksa orang untuk #Stayhome dan #Work From Home dan tidak ada sanksi pidana dan denda bila melanggar aturan dan kegiatan PSBB dan tidak bisa melarang untuk keluar masuk suatu wilayah. Namum para pelaksana dilapangan dan aparat hukum menggunakan asas Hukum Tertinggi Adalah Keselamatan Rakyat (Salus Populi Suprema Lex Esto) untuk menerapkan usaha2 yang bukan bagian dari PSBB tapi bagian kegiatan dari Karantina atau Lockdown, bahkan ada maklumat Kapolri yang akan mempidanakan dengan menggunakan pasal pidana di KUHP dan di UU Wabah no 4 tahun 1984 dan UU 6 tahun 2018 tentang KKM. Seharusnya kalau memakai asas Hukum Tertinggi Adalah Keselamatan Rakyat (Salus Populi Suprema Lex Esto) maka KKM dengan Karantina atau Lockdown dipilih.
   
Dalam penerapannya, jika suatu wilayah menerapkan karantina wilayah maka akan terus menerus dijaga oleh pejabat karantina wilayah dan Kepolisian Republik Indonesia karena anggota masyarakat tidak diperbolehkan keluar dan masuk wilayah yang dikarantina. Artinya, tidak ada akses apapun untuk orang masuk atau orang keluar ke wilayah yang dikarantina, termasuk juga akses melalui udara, laut dan darat. Warga dalam wilayah yang dikarantina benar-benar hanya berdiam di rumah saja, atau istilahnya “Work From Home”. dan dengan Rezim Karantina ada kepastian hukum dalam memaksa rakyat dan masyarakat untuk tinggal dirumah dan dilarang mudik ataupun pulang kampung. Akan tetapi UU memberikan kewajiban dan memerintahkan kepada pemerintah pusat untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina. Dan tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Karantina Wilayah tersebut dilakukan dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak yang terkait.
   
Tetapi dalam upaya memerangi Pandemi COVID-19 dengan kondisi dan situasi darurat sekarang ini dimana keselamatan rakyat menjadi taruhannya maka pemerintah seharusnya menjalankan segala daya upaya untuk memutus rantai penyebaran COVID-19 ini agar Indonesia bisa kembali pulih. Hal tersebut merupakan suatu conditio sine quanon sesuai asas hukum yang dicetuskan oleh Marcus Tullius Cicero yaitu “Salus populi suprema lex esto” yang artinya adalah keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.
      
Asas hukum Salus populi suprema lex esto merupakan fundamen dari Alenia keempat UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada…?”. Ini merupakan alenia sakral yang menjadi tujuan pembentukan negara Republik Indonesia. Perlindungan segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia ini merupakan hukum tertinggi bagi negara ini. Itulah mengapa tujuan perlindungan segenap bangsa dan seluruh tumpah darah tertuang dalam Pembukaan Konstitusi Indonesia sebagai hukum tertinggi.
     
Di bidang penegakan hukum dalam rangka mendukung kebijakan pemerintah beberapa instansi telah menerapkan asas ini di antaranya: Kepolisian RI dengan menerbitkan Maklumat Kapolri Jendral Idham Azis No. Mak/2/lll/2020 tanggal 19 Maret 2020 tentang Kepatuhan terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona (Covid-19). Melalui maklumat ini maka Kepolisian dimungkinkan untuk bertindak secara represif bagi orang-orang yang dengan sengaja menolak untuk mematuhi protokol dan himbauan pemerintah apabila perlu dengan menerapkan ketentuan pidana menurut Undang-undang nomor 4 Tahun 1984 pasal 14 tentang wabah penyakit menular, Undang-undang nomor 6 Tahun 2018 pasal 93 tentang Kekarantinaan Kesehatan, serta pasal-pasal didalam KUHP yaitu pasal 212, pasal 214, Pasal 216 ayat (1) serta pasal 218. Setelah hampir 3 bulan Indonesia dilanda pandemi covid 19 tampaknya pemerintah sudah kewalahan dan timbul keputusasaan dan sudah banyak menguras dana yang sangat besar dan pemerintah sudah pengalokasikan 405 T dan dari hasil laporan gugus tugas angka kejadian dan kematian akibat covid 19 terus meningkat dan belum ada tanda2 penurunan walaupun beberapa daerah sudah menerapkan PSBB. Pada tanggal 27 Mei 2020 Presiden memfasilitasi pembukaan aktifitas Mall dan Perkantoran dan Pabrik yang akan diperbolehkan beroperasi seperti biasa tapi tetap dengan menggunakan protokol kesehatan pencegahan covid 19. Alasan utama adalah untuk menggerakan roda ekomomi rakyat (pengusaha besar pemilik Mall) Dalam rangka mempersiapkan penerapan NEW NORMAL yang jelas belum ada landasan hukumnya selama PSBB tidak dicabut dan Persyaratan dari WHO belum terpenuhi. Suatu negara yang akan menerapkan The New Normal harus memenuhi syarat seperti dibawah ini :
  1. Terbukti bahwa Tramsmisi Covid bisa dikendalikan
  2. Sistem Kesehatan Masyarakat telah mampu memitigasi, mengidentifikasi, mengisolasi, menguji dan melacak kontak dan mengkarantina
  3. Mengurangi resiko wabah dengan pengaturan yang ketat terhadap tempat yg resiko tinggi seperti rumah jompo, kesehatan mental dan pemukiman padat
  4. Pencegahan ditempat kerja dengan penerapan protokol kesehatan pencegahan covid yang ketat dan berwibawa
  5. Resiko penyebaran IMPORTED CASE dapat dikendalikan
  6. Partisipasi masyarakat yang TINGGI dsn Aktif dala masa transisi ini.


Pemaksaan penerapan New Normal dalam kondisi SAAT INI menurut saya sebagai rakyat dan juga Mahasiswa Hukum bahwa tidak tepat dari segi penanggulangan wabah covid 19 yang telah menelan korban jiwa hampir 1.500 jiwa. PSBB saja tidak menunjukkan keberhasilan seharusnya dievaluasi dan perlu diterapkan usaha yang lebih radikal yaitu KARANTINA atau Lockdown untuk seluruh wilayah atau hanya wilayah tertentu dan secara hukum harus merevisi Keppres KKM dan PP PSBB nya Namun sepertinya hal ini TIDAK ditanggapi rezim ini karena rezim sudah memastikan akan memasuki NEW NORMAL dengan konsep HERD IMUNNITY secara ALAMIAH ( Seleksi alam ujar Amang DARWIN ). 

     Tindakan ini telah mengkebiri asas Hukum Tertinggi Adalah Keselamatan Rakyat (Salus Populi Suprema Lex Esto) yang awalnya diagung2kan untuk memberi pembenaran tindakan represif aparat pemerintah, TAPI akhir nya bergeser ke asas KESELAMATAN OLIGARKI dan Pengusaha dan Sekularisme jadi Hukum tertinggi, "Habis manis Sepah Dibuang".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FARMASIS DIUJUNG TANDUK, PEMERINTAH KEMANA ?

Saya paham betul, negara ini sedang berusaha bangkit dari keterpurukan. Hantaman COVID 19 bukan main, duka mendalam bagi angka kesaki...